Rabu, 15 Juni 2016

Pajak



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang serta Pengertian Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaran di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak.



B.     Jenis Pajak
Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah.
Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Segala pengadministrasian yang berkaitan dengan pajak pusat, akan dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Untuk pengadministrasian yang berhubungan dengan pajak derah, akan dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau Kantor sejenisnya yang dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat.
Pajak-pajak yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak meliputi:
a.       Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
b.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk kedalam kategori pajak objektif, pajak atas konsumsi umum dalam negeri serta pajak tidak langsung.
Menurut pakar PPN, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestandIstilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut.
Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama.
Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh) yang akan dibahas lebih mendalam, yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.
c.       Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPN BM)
Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang KenaPajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:
§  Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
§  Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
§  Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
§  Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
§  Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
d.      Bea Materai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan materai adalah dokumen yang menyatakan nominal sampai dengan jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dana dokumen yang digunakan di mula pengadilan, antara lain:
·         Surat perjanian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk diguanakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
·         Akta-akta notaris termasuk salinannya
·         Akata-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya
·         Surat yang memuat jumlah uang yaitu surat yang menyebutkan penerimaan uang, yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank, surat yang berisi pemberitahuan salso rekening di bank serta surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagaian telah dilunasi dan perhitungannya.
·         Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek
·         Dokumen yang dikenakan bea materai juga terhadap dokumen yang digunakan sebagai alat bukti pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumah tanggaan dan surat-surat yang semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula.
e.       Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Mulai 1 Januari 2010, PBB Perdesaan dan perkotaan menjadi Pajak Daerah sepanjang Peraturan Daerah tentang PBB yang terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan telah diterbitkan. Apabila dalam jangka waktu dari 1 Januari 2010 s.d Paling lambat 31 Desember 2013 Peraturan Daerah belum diterbitkan, maka PBB Perdesaan dan Perkotaan tersebut masih tetap dipungut oleh Pemerintah Pusat.
Mulai 1 januari 2014, PBB pedesaan dan Perkotaan merupakan pajak daerah. Untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
a.       Pajak Propinsi, meliputi:
§  Pajak Kendaraan Bermotor;
§  Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
§  Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
§  Pajak Air Permukaan;
§  Pajak Rokok.
b.      Pajak Kabupaten/Kota, meliputi:
§  Pajak Hotel;
§  Pajak Restoran;
§  Pajak Hiburan;
§  Pajak Reklame;
§  Pajak Penerangan Jalan;
§  Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
§  Pajak Parkir;
§  Pajak Air Tanah;
§  Pajak sarang Burung Walet;
§  Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan;
§  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
C.    Wajib Pajak
Siapa yang digolongkan sebagai Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
D.    Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak.
Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Pajak juga digunakan untuk mensubsidi barang-barang yang sangat dibutuhkan masyarakat dan juga membayar utang negara ke luar negeri. Pajak juga digunakan untuk membantu UMKM baik dalam hal pembinaan dan modal. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.






BAB II
PEMBAHASAN
1.      PAJAK PENGHASILAN
A.    Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan.
a.       Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (KP.PPh.2.1/BP-95) baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun iuran pasti.
b.      Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan (form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir.
c.       Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2 ) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
d.      Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak PPh Pasal 21 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
e.       Untuk melaksanakan kewajiban PPh Pasal 21, Pemotong Pajak PPh Pasal 21 / pemberi kerja agar menggunakan Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21.
B.     Pemotong Pajak PPh Pasal 21
a.       Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, termasuk bentuk usaha tetap, baik merupakan induk maupun cabang, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b.      Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan;
c.       Dana pensiun, PT Taspen, PT Astek, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) lainnya, serta badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT);
d.      Perusahaan, badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas;
e.       Yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan , kesenian, olah raga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, dan organisasi dalam bentuk apa pun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi;
f.       Perusahaan, badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan.
C.            Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
a.       Pegawai tetap, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung.
b.      Pegawai lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
c.       Penerima pensiun, yaitu orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.
d.      Penerima honorariun, yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.
e.       Penerima upah, yaitu orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.
D.                 Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan.
a.       Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
-           bukan warga negara Indonesia dan
-     tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
b.      Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
E.        Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a.       Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan teratur,beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apa pun;
b.      Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan yang biasanya dibayarkan sekali dalam setahun;
c.       Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
d.      Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Tunjang Hari Tua (THT), uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis;
e.       Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, termasuk tenaga ahli, pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, olahragawan, penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, moderator, pengarang, peneliti, pemberi jasa dibidang teknik, kolportir iklan, pengawas, pengelola proyek, pembawa pesanan peserta perlombaan, petugas penjaja barang dagangan, petugas dinas luar asuransi, peserta pendidikan, pelatihan, dan pemaganggan;
f.       Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dengan nama apa pun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak.


F.   Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a.       Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b.      Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun yang diberikan oleh Pemerintah dan wajib pajak;
c.       Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan penyelenggara Taspen serta THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
d.      Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun yang diberikan oleh Pemerintah;
e.       Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.
2.      FAKTOR YANG MEMPERNGARUHI PPH 21
A.    Tarif PPH 21 Pasal 17
Tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang digunakan untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
5%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,-
15%
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,-
25%
di atas Rp 500.000.000,-
30%
B.     PTKP
Setelah berkonsultasi dengan wakil rakyat di DPR pemerintah melalui Kemenkeu akhirnya menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besarnya PTKP diubah menjadi Rp 24.300.000 atau jika dihitung per bulannya adalah Rp 2.025.000. Sehingga setiap orang yang mendapatkan penghasilan tidak lebih dari Rp. 2.000.000,- setiap bulannya dibebaskan dari pengenaan pajak penghasilan.
Esensinya PTKP diatur dalam Pasal 7 UU Pajak penghasilan, namun pengubahan terhadap PTKP ini diperkenankan melalui aturan dibawahnya (Permenkeu) setelah sebelumnya berdiskusi dengan wakil rakyat. Akhirnya pada Oktober 2012 lalu , pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor: PMK-196/PMK.011/2012 tentang penyesuaian besarnya PTKP. Peraturan ini berlaku definitif mulai 1 Januari 2013.
Bagi mereka yang telah menikah, PTKP tersebut masih bertambah besar lagi. Seorang kepala keluarga yang menanggung istri dan anak akan mendapat tambahan PTKP masing-masing sebesar Rp 2.025.000/tahun. Untuk tanggungan di perbolehkan dengan jumlah maksimal 3 orang. Sehingga seorang karyawan atau pegawai yang telah menikah dan memiliki 3 tanggungan yang sepenuhnya ditanggung biaya hidupnya mendapatkan PTKP sebesar Rp  32.400.000.
Selengkapnya kenaikan PTKP ini dapat dilihat sebagai berikut:
·         TK, Lajang (tidak menikah), Lama: Rp. 15.840.000,- Baru: Rp. 24.300.000,-
·         TK1, Lajang dengan 1 tanggungan, Lama Rp. 17.160.000,- Baru: 26.325.000,-
·         TK2, Lajang dengan 2 tanggungan, Lama Rp. 18.480.000,- Baru: 28.350.000,-
·         TK3, Lajang dengan 3 tanggungan, Lama Rp. 19.800.000,- Baru: 30.375.000,-
·         K, Menikah tanpa tanggungan, Lama Rp. 17.160.000,- Baru: 26.325.000,-
·         K2, Menikah dengan 2 tanggungan, Lama Rp. 19.800.000,- Baru: 30.375.000,-
·         K1, Menikah dengan 1 tanggungan, Lama Rp. 18.480.000,- Baru: 28.350.000,-
·         K3, Menikah dengan 3 tanggungan, Lama Rp. 21.120.000,- Baru: 32.400.000,-
Menurut ilmu perpajakan, anggota keluarga yang berhak ditanggung dalam PTKP yaitu anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh kepala keluarga (wajib pajak). Syarat berikutnya yakni anggota keluarga tersebut adalah berasal dari anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus juga termasuk anak angkat.
Sehingga, dengan bahasa yang lebih mudah tanggungan itu diberikan kepada anak kandung, orang tua kandung dan mertua. Khusus untuk anak angkat yang berhak masuk dalam PTKP dibatasi sampai usia belum dewasa (belum 18 tahun) dan belum memiliki penghasilan. Jumlah tanggungan ini juga diberi batasan maksimal 3 orang saja. Dokumen yang digunakan sebagai bukti tanggungan yang masuk dalam PTKP dapat berupa surat pernyataan PTKP, yang dibuat oleh karyawan dan dapat diperbaharui jika ada perubahan jumlah tanggungannya.
PTKP identik dengan standar biaya hidup .Pada hakikatnya PTKP adalah suatu besaran yang dijadikan batas oleh pemerintah untuk memajaki penghasilan seseorang. Setiap orang pribadi  yang telah memperoleh penghasilan melewati PTKP wajib membayar pajak penghasilan ke kas negara. Pertimbangan untuk menentukan besarnya PTKP didasarkan pada perkembangan ekonomi moneter dan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Kenaikan PTKP ini juga diharapkan dapat meringankan beban hidup rakyat.
C.    Biaya Jabatan
Biaya jabatan adalah istilah perpajakan dalam hal ini PPh 21 untuk orang pribadi. Biaya jabatan adalah presentasi asumsi pihak perpajakan bahwa sebagai seorang pekerja/karyawan pasti memiliki pengeluaran (biaya) selama setahun serta biaya tersebut pasti dalam hubungannya degan pekerjaannya. Dan untuk itu pihak perpajakan menetapkan biaya jabatan dikenakan tariff tunggal 5% dari penghasilan bruto setahun, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (setahun) atau Rp. 500.000,- (sebulan). Sehingga biaya jabatan dapat pula disebut sebagai komponen pengurang penghasilan dalam perhitungan PPh 21 selain PKP serta iuran yang dibayarkan karyawan.
D.    Contoh Perhitungan PPh 21
Dimasandi Eko P adalah pegawai pada perusahaan PT Vivere Furniture, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Vivere Furniture mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Vivere Furniture menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan karyawan membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Vivere Furniture juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Vivere Furniture membayar iuran pensiun untuk karyawan ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan karyawan membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Maret 2014 karyawan hanya menerima pembayaran berupa gaji.  Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Maret 2014 adalah sebagai berikut:
Gaji

3.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja    

15.000,00
Premi Jaminan Kematian

9.000,00
Penghasilan bruto

3.024.000,00
Pengurangan


1. Biaya jabatan


5%x3.024.000,00
151.200,00

2. Iuran Pensiun
50.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua
60.000,00



261.200,00
Penghasilan neto sebulan

2.762.800,00
Penghasilan neto setahun


12x2.762.800,00

33.153.600,00
PTKP


- untuk WP sendiri
24.300.000,00

- tambahan WP kawin
2.025.000,00



26.325.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun

6.828.600,00
Pembulatan

6.828.000,00
PPh terutang


5%x6.828.000,00
341.400,00

PPh Pasal 21 bulan Maret


341.400,00 : 12

28.452,00
Catatan:
·         Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
·         Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Maret adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00



\



BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan. Besarnya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 akan bergantung pada besar penghasilan yang akan mempengaruhi tarif pengenaan pajak, PTKP serta biaya jabatan yang berhubungan dengan pekerjaan Subjek Pajak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar