BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang serta Pengertian Pajak
Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari
kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan
bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak
bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara
untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara
dan pembangunan nasional.
Tanggung
jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaran
di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi
kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut
dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal
Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan,
pelayanan, dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat
Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat
sesuai visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak.
B.
Jenis Pajak
Penggolongan pajak berdasarkan
lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Pajak
Pusat dan Pajak Daerah.
Pajak
Pusat adalah pajak-pajak yang
dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh
Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian keuangan. Sedangkan Pajak
Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik
di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Segala pengadministrasian yang
berkaitan dengan pajak pusat, akan dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta di Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Pajak. Untuk pengadministrasian yang berhubungan dengan pajak derah, akan
dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau
Kantor sejenisnya yang dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat.
Pajak-pajak yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak
meliputi:
a. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan
kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang
berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama
dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa
keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam
wilayah Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang
mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada
dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang
asing bagi masyarakat Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di
balik pengenaan PPN. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk kedalam
kategori pajak objektif, pajak atas konsumsi umum dalam negeri serta pajak
tidak langsung.
Menurut pakar PPN, Untung Sukardji,
pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak
ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah
tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang
dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak
objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang
terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat
penghasilan tertentu. Siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk
objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang
atau jasa tersebut.
Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu
selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif
konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang
atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum
tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan
membayar pajak yang sama.
Hal ini berbeda dengan pajak
subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh) yang akan dibahas lebih mendalam, yang kondisi
subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda
dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP
yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.
c. Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah
(PPN BM)
Selain dikenakan PPN, atas
pengkonsumsian Barang KenaPajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan
PPnBM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:
§ Barang
tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
§ Barang
tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
§ Pada
umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
§ Barang
tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
§ Apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu
ketertiban masyarakat.
d. Bea Materai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan
dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran,
surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah
tertentu sesuai dengan ketentuan.
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan materai adalah
dokumen yang menyatakan nominal sampai dengan jumlah tertentu, dokumen yang
bersifat perdata dana dokumen yang digunakan di mula pengadilan, antara lain:
· Surat perjanian dan surat-surat
lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk diguanakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
· Akta-akta notaris termasuk
salinannya
· Akata-akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya
· Surat yang memuat jumlah uang yaitu
surat yang menyebutkan penerimaan uang, yang menyatakan pembukuan uang atau
penyimpanan uang dalam rekening bank, surat yang berisi pemberitahuan salso
rekening di bank serta surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya
atau sebagaian telah dilunasi dan perhitungannya.
· Surat berharga seperti wesel,
promes, aksep dan cek
· Dokumen yang dikenakan bea materai
juga terhadap dokumen yang digunakan sebagai alat bukti pembuktian di muka
pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumah tanggaan dan
surat-surat yang semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud
semula.
e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas
kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat
namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada
Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Mulai 1
Januari 2010, PBB Perdesaan dan perkotaan menjadi Pajak Daerah sepanjang
Peraturan Daerah tentang PBB yang terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan telah
diterbitkan. Apabila dalam jangka waktu dari 1 Januari 2010 s.d Paling lambat
31 Desember 2013 Peraturan Daerah belum diterbitkan, maka PBB Perdesaan dan
Perkotaan tersebut masih tetap dipungut oleh Pemerintah Pusat.
Mulai 1 januari 2014, PBB pedesaan dan Perkotaan merupakan pajak daerah. Untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.
Mulai 1 januari 2014, PBB pedesaan dan Perkotaan merupakan pajak daerah. Untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.
Pajak-pajak yang
dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota adalah
sebagai berikut:
a.
Pajak Propinsi, meliputi:
§ Pajak Kendaraan Bermotor;
§ Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
§ Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
§ Pajak Air Permukaan;
§ Pajak Rokok.
b.
Pajak Kabupaten/Kota, meliputi:
§ Pajak Hotel;
§ Pajak Restoran;
§ Pajak Hiburan;
§ Pajak Reklame;
§ Pajak Penerangan Jalan;
§ Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
§ Pajak Parkir;
§ Pajak Air Tanah;
§ Pajak sarang Burung Walet;
§ Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan;
§ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
C. Wajib Pajak
Siapa yang
digolongkan sebagai Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
D.
Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga
atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan
pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa
pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan.
Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan
pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti
jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai
dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak.
Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka
memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai
saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau
pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari
pajak. Pajak juga digunakan untuk mensubsidi barang-barang yang sangat
dibutuhkan masyarakat dan juga membayar utang negara ke luar negeri. Pajak juga
digunakan untuk membantu UMKM baik dalam hal pembinaan dan modal. Dengan
demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat
dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan
fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi
yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena
itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya
secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi
redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial
yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PAJAK
PENGHASILAN
A.
Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan.
a. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib
memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (KP.PPh.2.1/BP-95) baik diminta maupun
tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan
sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima
pesangon, dan penerima dana pensiun iuran pasti.
b. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib
memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan (form 1721-A1 atau 1721-A2)
kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan dalam waktu dua bulan
setelah tahun takwim berakhir.
c. Apabila pegawai tetap berhenti
bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan (form
1721-A1 atau 1721-A2 ) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya satu
bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
d. Penerima penghasilan wajib
menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak PPh Pasal 21 yang menyatakan
jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan
menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
e. Untuk melaksanakan kewajiban PPh Pasal
21, Pemotong Pajak PPh Pasal 21 / pemberi kerja agar menggunakan Buku Petunjuk
Pemotongan PPh Pasal 21.
B.
Pemotong Pajak PPh Pasal 21
a.
Pemberi kerja terdiri dari orang
pribadi dan badan, termasuk bentuk usaha tetap, baik merupakan induk maupun
cabang, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain dengan nama apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b.
Bendaharawan pemerintah termasuk
bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan,
jasa, dan kegiatan;
c.
Dana pensiun, PT Taspen, PT Astek,
badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) lainnya, serta
badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan
Hari Tua (THT);
d.
Perusahaan, badan termasuk bentuk
usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan kegiatan dan jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status
Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas;
e.
Yayasan (termasuk yayasan di bidang
kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan , kesenian, olah raga, kebudayaan),
lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, dan organisasi dalam bentuk apa
pun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau
imbalan dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi;
f.
Perusahaan, badan termasuk bentuk
usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta
pendidikan, pelatihan, dan pemagangan.
C.
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
a.
Pegawai tetap, yaitu orang pribadi
yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah
tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan
pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan
secara langsung.
b.
Pegawai lepas, yaitu orang pribadi
yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang
pribadi yang bersangkutan bekerja.
c.
Penerima pensiun, yaitu orang
pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk
pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk yang menerima Tabungan Hari Tua
atau Tunjangan Hari Tua.
d.
Penerima honorariun, yaitu orang
pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan,
atau kegiatan yang dilakukannya.
e.
Penerima upah, yaitu orang pribadi
yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.
D.
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan.
a.
Pejabat perwakilan diplomatik dan
konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama
mereka, dengan syarat :
- bukan
warga negara Indonesia dan
-
tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
b. Pejabat perwakilan organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sepanjang bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan di Indonesia.
E.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a.
Penghasilan yang diterima atau
diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium
(termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas),
premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi,
tunjangan teratur,beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja
dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apa pun;
b.
Penghasilan yang diterima atau
diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi
tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan yang
biasanya dibayarkan sekali dalam setahun;
c.
Upah harian, upah mingguan, upah
satuan, dan upah borongan;
d.
Uang tebusan pensiun, uang Tabungan
Hari Tua atau Tunjang Hari Tua (THT), uang pesangon, dan pembayaran lain
sejenis;
e.
Honorarium, uang saku, hadiah atau
penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, termasuk tenaga ahli, pemain
musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, olahragawan, penasehat,
pengajar, pelatih, penceramah, moderator, pengarang, peneliti, pemberi jasa
dibidang teknik, kolportir iklan, pengawas, pengelola proyek, pembawa pesanan
peserta perlombaan, petugas penjaja barang dagangan, petugas dinas luar
asuransi, peserta pendidikan, pelatihan, dan pemaganggan;
f.
Penerimaan
dalam bentuk natura dan kenikmatan dengan nama apa pun yang diberikan oleh
bukan Wajib Pajak.
F. Tidak
termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a.
Pembayaran asuransi dari perusahaan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
b.
Penerimaan dalam bentuk natura dan
kenikmatan lainnya dengan nama apa pun yang diberikan oleh Pemerintah dan wajib
pajak;
c.
Iuran pensiun yang dibayarkan kepada
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan
penyelenggara Taspen serta THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek
yang dibayar oleh pemberi kerja;
d.
Penerimaan
dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun yang diberikan
oleh Pemerintah;
e.
Kenikmatan
berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.
2. FAKTOR
YANG MEMPERNGARUHI PPH 21
A.
Tarif PPH 21 Pasal 17
Tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang digunakan untuk
menghitung penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Sampai
dengan Rp 50.000.000,-
|
5%
|
di
atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,-
|
15%
|
di
atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,-
|
25%
|
di
atas Rp 500.000.000,-
|
30%
|
B.
PTKP
Setelah berkonsultasi dengan wakil rakyat di DPR pemerintah
melalui Kemenkeu akhirnya menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Besarnya PTKP diubah menjadi Rp 24.300.000 atau jika dihitung per bulannya
adalah Rp 2.025.000. Sehingga setiap orang yang mendapatkan penghasilan tidak
lebih dari Rp. 2.000.000,- setiap bulannya dibebaskan dari pengenaan pajak
penghasilan.
Esensinya PTKP diatur dalam Pasal 7 UU Pajak penghasilan,
namun pengubahan terhadap PTKP ini diperkenankan melalui aturan dibawahnya
(Permenkeu) setelah sebelumnya berdiskusi dengan wakil rakyat. Akhirnya pada
Oktober 2012 lalu , pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor:
PMK-196/PMK.011/2012 tentang penyesuaian besarnya PTKP. Peraturan ini berlaku
definitif mulai 1 Januari 2013.
Bagi mereka yang telah menikah, PTKP tersebut masih
bertambah besar lagi. Seorang kepala keluarga yang menanggung istri dan anak
akan mendapat tambahan PTKP masing-masing sebesar Rp 2.025.000/tahun. Untuk
tanggungan di perbolehkan dengan jumlah maksimal 3 orang. Sehingga seorang
karyawan atau pegawai yang telah menikah dan memiliki 3 tanggungan yang
sepenuhnya ditanggung biaya hidupnya mendapatkan PTKP sebesar Rp
32.400.000.
Selengkapnya
kenaikan PTKP ini dapat dilihat sebagai berikut:
·
TK, Lajang (tidak menikah), Lama:
Rp. 15.840.000,- Baru: Rp. 24.300.000,-
·
TK1, Lajang dengan 1 tanggungan,
Lama Rp. 17.160.000,- Baru: 26.325.000,-
·
TK2, Lajang dengan 2 tanggungan,
Lama Rp. 18.480.000,- Baru: 28.350.000,-
·
TK3, Lajang dengan 3 tanggungan,
Lama Rp. 19.800.000,- Baru: 30.375.000,-
·
K, Menikah tanpa tanggungan,
Lama Rp. 17.160.000,- Baru: 26.325.000,-
·
K2, Menikah dengan 2 tanggungan,
Lama Rp. 19.800.000,- Baru: 30.375.000,-
·
K1, Menikah dengan 1 tanggungan,
Lama Rp. 18.480.000,- Baru: 28.350.000,-
·
K3, Menikah dengan 3 tanggungan,
Lama Rp. 21.120.000,- Baru: 32.400.000,-
Menurut ilmu perpajakan, anggota keluarga yang berhak
ditanggung dalam PTKP yaitu anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan
dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh kepala keluarga (wajib pajak).
Syarat berikutnya yakni anggota keluarga tersebut adalah berasal dari anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus juga termasuk
anak angkat.
Sehingga, dengan bahasa yang lebih mudah tanggungan itu
diberikan kepada anak kandung, orang tua kandung dan mertua. Khusus untuk anak
angkat yang berhak masuk dalam PTKP dibatasi sampai usia belum dewasa (belum 18
tahun) dan belum memiliki penghasilan. Jumlah tanggungan ini juga diberi
batasan maksimal 3 orang saja. Dokumen yang digunakan sebagai bukti tanggungan
yang masuk dalam PTKP dapat berupa surat pernyataan PTKP, yang dibuat oleh
karyawan dan dapat diperbaharui jika ada perubahan jumlah tanggungannya.
PTKP identik dengan standar biaya hidup .Pada hakikatnya
PTKP adalah suatu besaran yang dijadikan batas oleh pemerintah untuk memajaki
penghasilan seseorang. Setiap orang pribadi yang telah memperoleh
penghasilan melewati PTKP wajib membayar pajak penghasilan ke kas negara.
Pertimbangan untuk menentukan besarnya PTKP didasarkan pada perkembangan
ekonomi moneter dan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Kenaikan PTKP ini
juga diharapkan dapat meringankan beban hidup rakyat.
C.
Biaya Jabatan
Biaya jabatan adalah istilah perpajakan dalam hal ini PPh 21
untuk orang pribadi. Biaya jabatan adalah presentasi asumsi pihak perpajakan
bahwa sebagai seorang pekerja/karyawan pasti memiliki pengeluaran (biaya)
selama setahun serta biaya tersebut pasti dalam hubungannya degan pekerjaannya.
Dan untuk itu pihak perpajakan menetapkan biaya jabatan dikenakan tariff
tunggal 5% dari penghasilan bruto setahun, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,-
(setahun) atau Rp. 500.000,- (sebulan). Sehingga biaya jabatan dapat pula disebut
sebagai komponen pengurang penghasilan dalam perhitungan PPh 21 selain PKP
serta iuran yang dibayarkan karyawan.
D.
Contoh Perhitungan PPh 21
Dimasandi Eko P adalah pegawai pada perusahaan PT Vivere
Furniture, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT
Vivere Furniture mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja
dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Vivere Furniture menanggung iuran
Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan karyawan
membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping
itu PT Vivere Furniture juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT
Vivere Furniture membayar iuran pensiun untuk karyawan ke dana pensiun, yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar
Rp100.000,00, sedangkan karyawan membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00.
Pada bulan Maret 2014 karyawan hanya menerima pembayaran berupa gaji.
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Maret 2014 adalah sebagai berikut:
Gaji
|
3.000.000,00
|
|
Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja
|
15.000,00
|
|
Premi
Jaminan Kematian
|
9.000,00
|
|
Penghasilan
bruto
|
3.024.000,00
|
|
Pengurangan
|
||
1.
Biaya jabatan
|
||
5%x3.024.000,00
|
151.200,00
|
|
2.
Iuran Pensiun
|
50.000,00
|
|
3.
Iuran Jaminan Hari Tua
|
60.000,00
|
|
261.200,00
|
||
Penghasilan
neto sebulan
|
2.762.800,00
|
|
Penghasilan
neto setahun
|
||
12x2.762.800,00
|
33.153.600,00
|
|
PTKP
|
||
-
untuk WP sendiri
|
24.300.000,00
|
|
-
tambahan WP kawin
|
2.025.000,00
|
|
26.325.000,00
|
||
Penghasilan
Kena Pajak setahun
|
6.828.600,00
|
|
Pembulatan
|
6.828.000,00
|
|
PPh
terutang
|
||
5%x6.828.000,00
|
341.400,00
|
|
PPh
Pasal 21 bulan Maret
|
||
341.400,00
: 12
|
28.452,00
|
Catatan:
·
Biaya Jabatan adalah biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari
penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang
mempunyai jabatan ataupun tidak.
·
Contoh di atas berlaku apabila
pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang
bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
pada bulan Maret adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00
\
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. PPh adalah pajak yang dikenakan
kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu Tahun Pajak.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan. Besarnya Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21 akan bergantung pada besar penghasilan yang akan
mempengaruhi tarif pengenaan pajak, PTKP serta biaya jabatan yang berhubungan
dengan pekerjaan Subjek Pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar